BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
“Karya sastra merupakan institusi sosial
yang menggunakan media bahasa dalam menyampaikan pikiran dan imajinasi pengarang”
(Wellek dan Warren,1995:109) Eksistensi karya sastra, sebenarnya tidak terlepas
dari permasalahan-permasalahan yang timbul di tengah masyarakat. Melalui
konflik dan konfrontasi yang timbul di tengah-tengah masyarakat akan mecetusan pemikiran
untuk merangkaikan peristiwa atau konflik tersebut dengan medium bahasa yang
indah, menakjubkan serta menggugah hati pembacanya.
Sebagai media penyampaian pesan yang dilakukan
oleh pengarang untuk meluapkan emosinya. “Sastra ( karya sastra ) dalam konsep
romantik didefinisikan sebagai suatu ciptaan, suatu kreasi yang merupakan
luapan emosi yang spontan dan sastra itu bersifat otonom, tidak mengacu pada
sesuatu yang lain, dan mempunyai koherensi antara unsur-unsurnya. Definisi secara
historik bahwa sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi
berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek estetik
baik didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna” ( Fananie,2002:5-6 )
Menurut Yani dan Mumun (2005:253) karya
sastra adalah segala bentuk kenyataan-kenyataan dan atau peristiwa-peristiwa
yang bersumber dari masyarakat. Peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat,
diangkat dan diungkapkan secara imajinatif dengan menginterpretasi dengan daya
imajinasi sehingga menghasilkan karya sastra yang value ( bernilai ) tinggi di
tengah-tengah penikmat sastra itu. Pencitraan berupa kesedihan, kepedihan,
kebahagian, kesengsaraan, suka - duka yang dialami oleh manusia di tengah
masyarakat ditafsirkan dengan penuh penghayatan sehingga membawa pembaca ikut
masuk dalam karya sastra itu.
Sedangkan menurut Atar (2012:1) bahwa
sastra lahir disebabkan oleh dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan
dirinya, menaruh minat terhadap masalah manusia dan kemanusiaan, dan menaruh
minat terhadap dunia realitas yang berlangsung sepanjang hari dan sepanjang
zaman. Sastra diharapkan mampu memberikan sumbangan terhadap perkembanga
intelek, estetik, serta manifestasi budaya.
Dikatakan sebagai manifestasi budaya, karya
sastra dibentuk oleh masyarakat itu sendiri. Sebagai manifestasi kebudayaan,
tentunya karya sastra merupakan tolak ukur atau cerminan masyarakat pada
zamannya, dan akan mengkontaminasi zaman sekarang serta zaman yang akan datang.
Warren dan Wallek ( 1995:11 ) mengatakan bahwa sastra tidak terlepas dari unsur
budaya. Budaya yang tercipta merupakan hasil pemikiran masyarakat tentang
keadaan, peristiwa yang terjadi pada saat itu, sehingga seorang pengarang berinisiatif menulis dengan berbagai
penafsiran.
Menurut Teeuw ( dalam Pradopo, 2012:80)
karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya, termasuk dalamnya karya
sastra. Karya sastra harus memiliki daya pikat tersendiri terhadap batin dan
jiwa penikmatnya. Daya gugah ini akan menjadi senjata pengarang untuk
menggambarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu yang relatif
lama, sehingga menjadi misteri dan terus dicari keberadaannya atau keabsahannya
oleh masyarakat.
Dari beberapa pendapat di atas, penulis
dapat menyimpulkan bahwa karya sastra merupakan luapan emosi dan kreatifitas
pengarang secara spontan yang bersifat otonom dan memiliki nilai estetik tinggi
baik berasal dari nilai kebahasan dan nilai makna tentang suatu peristiwa-peristiwa
dan atau konflik-konflik di tengah-tengah masyarakat yang diungkapkan dengan
menginterpretasi peristiwa atau konflik dengan daya imajinatif pengarang.
Dalam “The American College Dictory” novel
adalah suatu cerita prosa yang fiktif dalam panjang tertentu, yang melukiskan
para tokoh,gerak serta adegan kehidupan nyata yang reprensentatif dalam suatu
alur atau keadaan yang agak kacau atau kusut.( Tarigan, 1994:164 ) Sedangkan Virgina
Wolf ( dalam Tarigan,1994:164 ) mengatakan bahwa “ sebuah roman atau novel
ialah terutama sekali sebuah ekspolarasi atau kronik penghidupan; merenungkan
dan melukiskan dalam bentuk yang tertentu, pengaruh, ikatan, hasil, kehancuran
atau tercapainya gerak-gerik manusia.
Karya sastra berupa novel esensinya
merupakan penggambaran sebuah kejadian atau peristiwa dalam masyarakat yang digambarkan
oleh tokoh dengan berbagai karakter dan situasi tertentu. Tokoh dalam suatu
novel, tentunya memiliki peranan yang sangat urgen di dalam mengatur konflik
sesuai dengan karakter yang telah diatur dengan alur atau gaya bercerita
pengarang.
Pengarang memikirkan keberadaan tokoh
sebagai sentral dalam karya sastra khsusunya novel, dipikirkan sebagai “ complex of potensial of action “ atau “
suatu kompleks potensial aksi “ ( Brooks dan Warren dalam Tarigan, 1994:149 ).
Seorang tokoh dalam novel memiliki gerak yang berbeda-beda, tentu saja tidak
semua gerak yang dilakoninya. Tergantung dengan kesesuaian karakter apa yang
sangat potensial ada pada tokoh tersebut.
Tokoh atau penokohan, tentunya akan
menarik bilamana ada aksi atau reaksi yang ditimbulkan oleh tokoh. Aksi atau
reaksi yang ditimbulkan menghasilkan sorot pandang penikmat untuk menilai dan
mengatur diri untuk tertarik dalam penceritaan isi cerita melalui alur,
konflik, maupun resolusi yang akan timbul nantinya. Ini akan tergantung kepada
pengarang didalam mengatur content cerita fiksi tersebut.
Boulton ( dalam Aminuddin, 2011:79 )
mengungkapkan bahwa cara pengarang menggambarkan tokohnya itu dapat berbagai
macam. Penggambaran tokoh oleh pengarang, bisa saja dengan menggambarkan tokoh
sebagai pelaku yang hidup dengan
sederhana dalam imajinasi atau dalam mimpi, pelaku yang memiliki semangat
perjuangan dalam mempertahankan hidupnya, pelaku yang memiliki cara sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya,
maupun pelaku yang egois, kacau, dan mementingkan dirinya.
Dalam cerita fiksi ( novel )
pengilustrasian pelaku atau tokoh yang
memerankan lakon itu, tidak hanya manusia saja, akan tetapi bisa binatang yang
dicitrakan berperilaku atau karakter sebagai manusia, tergantung pengarang
menggunakan media binatang seperti anjing, kucing, rusa, monyet, dan
sebagainya. Hal tersebut tidak menjadi masalah dalam dunia fiksi atau cerita,
tergantung cara pengarang untuk melukiskan tokoh tersebut.
Novel yang menjadi kajian penulis adalah
novel Edensor karya Andrea Hirata
yang terdiri dari 290 halaman cetakan ketujuhbelas yang diterbitkan oleh PT
Bentang Pustaka dan novel Menebus Mimpi karya
Abidah El Khalieqy yang terdiri dari
304 halaman cetakan keempat yang diterbitkan oleh Qalbiymedia. Kedua novel
tersebut menceritakan perjuangan para tokohnya untuk mengejar mimpi mereka.
Perjuangan yang dilakoni oleh tokoh, tentunya
dilakukan dengan berbagai cara dan tentunya mendapatkan ribuan dan
bahkan jutaan halangan dan rintangan untuk mengejar mimpi mereka.
Andrea Hirata, tentunya memiliki alasan
tersendiri menulis novel Edensor. Melihat keadaan masyarakat Belitung yang kaya
dengan potensi timah, namun penduduk pribumi hanya bisa terjajah dengan menjadi
buruh kasar para cukong Belanda. Dengan menggunakan pendekatan sosiologi,
antropologi dan kekuatan imajinasinya, Andrea Hirata mampu mendeskrifsikan penindasan-penindasan serta
kehidupan masyarakat Belitung yang jauh dari keterbelakangan dan masih awam
dalam pemikiran. Dengan gaya bahasa, pemilihan tema, alur, dan gaya bahasa yang
imajinatif, pengarang mampu mengubah pemikiran pembaca dan menarik perhatian
penikmat sastra.
Begitu juga halnya dengan Abidah, dengan
kekuatan emosi, daya imajinasi yang tajam menggambarkan keadaan keluarga tokoh
yang harus bekerja keras meraih mimpi serta bertahan hidup dari penindasan dan
aniaya suami serta orang-orang terdekatnya yang mencoba menodai kehidupan sang
tokoh. Pengarang sangat jeli memilih kata-kata yang kaya akan diksi, gaya
bahasa, sehingga mampu menghipnotis pembaca serta menyertakan pembaca untuk
menginterpretasi makna yang terkandung dalam
tiap baris, maupun halaman, sehingga penikmat sastra merasa penasaran untuk
membuka halaman demi halaman.
Dalam novel Edensor karya Andrea Hirata dan Menebus
Mimpi karya Abidah. Menceritakan tokoh yang sama-sama memiliki impian yang
harus dicapai. Tokoh Ikal dalam novel Edensor
dan tokoh Nur dalam novel Menebus Mimpi,
mengawali kesuksesan mereka dengan bermimpi. Kedua tokoh tersebut, berpikir dan
bekerja keras untuk mengejar mimpi mereka dengan berbagai cara.
Tokoh Ikal dan Nur. Dalam isi novelnya,
Ikal cendrung memiliki perbedaan yang sangat jauh dengan Nur. Perbedaan yang
dimaksud bahwa tokoh Ikal dalam novel
Edensor lebih bersifat pemberani dalam mengejar mimpinya, dan Ikal tidak
takut ancaman bahaya yang mengancam nyawanya. Dalam novel Menebus Mimpi tokoh Nur, lebih bersifat penurut kepada orang tua (
ibunya ) untuk terus mengejar mimpinya, walau di tengah cerita, Nur harus cuti
kuliah menjadi pelayan hiburan dan berbisnis Network Marketing demi mengejar mimpinya.
Novel Edensor karya Andrea Hirata dan Menebus
Mimpi karya Abidah El Khalieqy memiliki persamaan yakni, kedua tokoh
mengawali kesuksesan dengan mimpi. Mimpi tersebut diwujudkan dengan bekerja
keras. Ikal sebagai tokoh utama dalam novel Edensor
demi mengejar cita-cita untuk kuliah ke Paris. Ikal sejak duduk dibangku SMA
bekerja menjadi kuli panggul pada pengusaha ikan berketurunan Tiong Hua.
Semenjak kuliah di Bogor, Ikal bekerja menjadi tukang sortir surat di Kantor
Pos, sedangkan Nur dalam novel Menebus
Mimpi, demi mengejar mimpinya untuk membahagiakan ibunya, ia rela menjadi
pelayan hiburan malam dan menjadi sales network
marketing.
Melihat perbedaan dan persamaan
penokohan atau karakater yang digambarkan oleh pengarang kedua novel tersebut.
Penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang penokohan kedua novel
tersebut. Peneliti kemas dalam judul Komparasi Penokohan Dalam Novel Edensor karya Andrea Hirata dan Menebus Mimpi karya Abidah El Khalieqy
- Identifikasi Masalah
Berkaitan dengan Novel Edensor dan Menebus Mimpi sebagai objek penelitian, beberapa masalah yang
dapat diidentifikasi antara lain :
1.
Novel “Edensor dan Menebus Mimpi “ mengandung nilai budaya yang sangat
tinggi khususnya mengenai identitas bangsa Melayu di Belitung dan Jawa. Hal ini
dapat dikaji dengan teori antropologi sastra
2.
Novel “ Edensor dan Menebus Mimpi “ mengandung banyak gaya bahasa
pengarang yang dapat memikat hati pembaca. Hal ini dapat dikaji dengan teori
stalistika
3.
Novel “Edensor dan Menebus Mimpi “ memiliki nilai sosial yang tinggi. Hal
ini dapat dikaji dengan teori sosiologi sastra
4.
Novel “Edensor dan Menebus Mimpi “ memiliki persamaan dan perbedaan dari
segi penokohannya. Hal ini dapat dikaji dengan studi komparasi.
- Fokus Masalah
Berdasarkan keempat identifikasi masalah
di atas, maka penelitian ini difokuskan pada point yang keempat. Komparasi
Penokohan Dalam Novel “Edensor karya
Andrea Hirata dan Menebus Mimpi karya Abidah El Khalieqy “ dengan
menggunakan studi komparasi
- Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat
dirumuskan masalah berikut
1.
Bagaimanakah perbedaan dan persamaan
pelukisan penokohan dalam novel “Edensor
karya Andrea Hirata dan Menebus Mimpi
karya Abidah El Khalieqy “ ?
2.
Bagaimakah kaitan antara penokohan
dengan unsur-unsur pembangun yang lain dalam novel “Edensor karya Andrea Hirata dan Menebus Mimpi karya Abidah El Khalieqy “
?
- Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini
dilaksanakan yaitu, antra lain ;
1.
Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan
pelukisan penokohan dalam novel “Edensor
karya Andrea Hirata dan Menebus Mimpi karya Abidah El Khalieqy
2.
Mendeskripsikan kaitan antara penokohan
dan unsur – unsur pembangun yang lain dalam novel “ Edensor karya Andrea Hirata dan Menebus Mimpi karya Abidah El Khalieqy
“
- Manfaat
Hasil penelitian ini diharapakan dapat
memberikan manfaat baik secara teroritis dan praktis
1.
Manfaat Teoritis
Secara
teoritis, penelitian bermanfaat sebagai :
a.
Sebagai acuan untuk melakukan penelitian
yang sejenis dalam penelitian sastra
b.
Sebagai acuan didalam pengembangan analisis
karya sastra, hal ini berkaitan denga teori komparasi
c.
Sebagai acuan dalam teori kesusastraan
khususnya dibidang penokohan
2.
Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini
diharapkan dapat :
a.
Agar pembaca dapat mengetahui bentuk
komparasi penokohan dalam novel “ Edensor karya Andrea Hirata dan Menebus
Mimpi karya Abidah El Khalieqy “
b.
Agar pembaca dapat mengetahui makna
nilai perjuangan dan kekuatan mimpi yang terkandung dalam novel “Edensor karya Andrea Hirata dan Menebus
Mimpi karya Abidah El Khalieqy “
c.
Agar pembaca dapat mengapresiasikan diri
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam novel “ Edensor karya Andrea Hirata dan Menebus Mimpi karya Abidah El Khalieqy
“
BAB II
LANDASAN TEORI
- Konsep Novel
Novel berasal dari bahasa Latin novellas, yang terbentuk dari kata novus yang berarti baru atau new dalam bahasa Inggris. Novel adalah karya
sastra yang datang dari karya sastra lainnya seperti puisi dan drama. Dalam “ The Advanced Learner’s Dictonary of Current
English “( dalam Tarigan, 1994 : 164) mengatakan bahwa novel adalah suatu
cerita dengan suatu alur, cukup panjang mengisi satu buku atau lebih, yang
menggarap kehidupan pria dan wanita yang bersifat imajinatif.
Novel merupakan salah satu wujud cerita
rekaan yang mengisahkan salah satu bagian nyata dari kehidupan orang-orang
dengan segala pergolakan jiwanya dan melahirkan suatu konflik yang pada akhirnya
dapat mengalihkan jalan kehidupan mereka atau nasib hidup mereka. Nurgiyantoro
(2010:22) menyatakan bahwa novel merupakan sebuah totalitas, suatu
kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel
mempunyai bagian-bagian dan unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan yang
lain secara erat dan saling menggantungkan.
Sumarjono ( dalam Wijaya dan Wahyuningtyas,
2010:47 ) mengatakan bahwa novel adalah produk masyarakat. Sebagai produk
masyarakat dan berada di masyarakat, roman ( novel ) dibentuk oleh anggota
masyarakat berdasarkan desakan-desakan emosional dan atau rasional dalam
masyarakat. Goldmann ( dalam Faruk, 2012:90 ) mendefinisikan novel sebagai
cerita tentang suatu pencarian yang terdegradasikan akan nilai-nilai yang
otentik yang dilakukan oleh tokoh utama yang problematik dalam sebuah dunia yang
juga terdegradasi.
Sementara itu, W. Kramer dalam bukunya Inleidign tot de stilistiche Interveratasi
van Literaire Kunts mengatakan bahwa wujud novel ialah konsentrasi,
pemusatan kehidupan suatu saat dalam suatu kritis yang memusatkan ( dalam Wahyu
dan Wahyuningtyas, 2010:46 ). Virgina Wolf ( dalam Tarigan, 1994:164 )
mengatakan bahwa sebuah roman atau novel ialah terutama sekali sebuah
ekspolarasi atau kronik penghidupan; merenungkan dan melukiskan dalam bentuk
yang tertentu, pengaruh, ikatan, hasil, kehancuran atau tercapainya gerak-gerik
manusia.
Sebagai salah satu bentuk karya sastra
yang menampilkan gambaran kehidupan masyarakat yang memiliki unsur pembangun
berupa unsur intrinsik dan ekstrinsik. Nurgiyantoro (2010:23) menyatakan bahwa unsur
yang membangun sebuah novel ada dua, yaitu unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu
sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya
sastra. Unsur yang dimaksud dalam unsur intrinsik ini diantaranya adalah
peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan,
bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain.
Sedangkan unsur ekstrinsik yaitu
unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung
mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Sebagaimana unsur
instrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur. antara lain
adalah subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan
pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya.
Nilai-nilai otentik dalam sebuah novel
dimaksudkan nilai-nilai yang mengorganisasikan dunia novel secara keseluruhan
meskipun hanya secara implisit. Novel juga menggambarkan atau menyajikan
kehidupan itu sendiri. “Kehidupan sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial
yang meniru alam dan dunia subjektif pengarang” ( Warren dan Wallek, 1995:109 )
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut,
dapat disimpulkan bahwa novel adalah suatu roman yang menceritakan kehidupan
masyarakat yang bersifat dinamis dengan meniru alam dan subjektif manusia
dengan imajinasi pengarang yang bermuatan nilai-nilai positif dengan pemusatan
kehidupan manusia suatu saat dalam suatu kritis yang memusatkan.
Pada dasarnya novel berbeda dengan
cerpen. Novel tidak mampu menceritakan isi secara padat tentang kandungan
cerita. Namun disisi lain novel lebih mudah dibandingkan dengan cerpen.
Dikatakan sangat mudah, karena novel pada dasarnya tidak dibebani tanggungjawab
untuk menyampaikan isinya secara cepat dan padat. Dikatakan sukar karena novel
ditulis dengan jumlah yang halaman yang banyak sehingga mengandung
satuan-satuan organisasi yang lebih luas daripada cerpen (Stanton, 2012:90)
Novel dengan cerpen memiliki perbedaan
yang mendasarkan, dilihat dari segi kuantitas kata dan halamanya serta waktu
membacanya. Berikut ini akan disajikan perbedaan novel dengan cerpen secara
terperinci yang dikutip dari Wahyu dan Wahyuningtyas (2010:52 )
No
|
Ciri-ciri
|
Cerpen
|
Novel
|
1
|
Jumlah kata
|
10.000 kata
|
35.000 kata
|
2
|
Jumlah halaman
|
30 maksimal
|
80 – 300 halaman
|
3
|
Jumlah waktu
|
10-30 menit
|
120-600 menit
|
4
|
Bergantung pada
|
Hanya 1 situasi
|
Lebih dari 1 situasi
|
5
|
Impresi
|
Satu
|
Lebih dari satu
|
6
|
Efek
|
Satu
|
Lebih dari satu
|
7
|
Emosi
|
Satu
|
Lebih dari satu
|
8
|
Skala
|
Lebih sempit
|
Lebih luas
|
9
|
Seleksi
|
Lebih ketat
|
Lebih luwes
|
10
|
Kepadatan / Intensitas
|
Lebih diutamakan
|
Kurang diutamakan
|
11
|
Kelajuan
|
Lebih cepat
|
Kurang cepat
|
Berdasarkan
perbedaan di atas Brook, dkk ( dalam Tarigan,1994:165 ) dalam bukunya “ An approach to Literature “
menyimpulkan bahwa :
a.
Novel bergantung pada tokoh
b.
Novel menyajikan lebih dari satu impresi
c.
Novel menyajikan lebih dari satu efek
d.
Novel menyajikan lebih dari satu efek
- Jenis – Jenis Novel
Menurut Muctar Lubis ( dalam Tarigan,1994:165-169
) novel ada berbagai macam, antara lain :
a.
Novel
Avountor
b.
Novel
Psikologis
c.
Novel
Detektif
d.
Novel
Sosial atau Novel Politik
e.
Novel
Kolektif
f.
Novel
Kolektif
Berikut ini akan dijelaskan masing-masing
dari ke enam novel di atas :
a.
Novel Avountor
Dalam novel avountor cerita dipusatkan
kepada tokoh utama yang menceritakan pengalaman-pengalaman dari masa tokoh
utama berjaya ( Kebahagian atau kepedihan ) sampai akhir cerita pengalaman
tokoh yang dalam perjalannnya mengalami rintangan-rintangan.
b.
Novel Psikologis
Novel psikologis berbeda dengan roman
avountur yang menceritakan secara berturut-turut terjadi ( baik lahir hingga
rohani ), tetapi roman psikologis lebih diutamakan pemeriksaan seluruhnya dari
semua pikiran-pikiran para pelaku.
c.
Novel Detektif
Novel detektif biasanya terdapat clue, atau tanda bukti, baik dalam
seorang pelaku atau tanda-tanda lain yang sengaja dipergunakan untuk meragukan
pikiran pembaca untuk menunjukan akhir suatu cerita.
d.
Novel Sosial atau Novel Politik
Bentuk novel sosial, pelaku lebih
cendrung tenggelam dalam stratafikasi sosialnya ( kelas atau golongan ).
Tingkatan golongan ini akan menimbulkan konfrontasi atau bentrok-bentrok yang
diakibatkan oleh kepentingan masing-masing golongan. Dalam novel ini persoalan
ditinjau dari persoalan golongan-golongan dalam masyarakat, reaksi setiap
golongan terhadap masalah-masalah yang timbul, dan pelaku hanya sebagai
pendukung jalan cerita
e.
Novel Kolektif
Dalam novel kolektif, individu sebagai
pelaku tidak dipentingkan. Dalam novel kolektif mengutamakan cerita masyarakat sebagai totalitas. Novel ini
mencampurkan pandangan-pandangan antara unsur budaya dengan unsur masyarakat
Sedangkan menurut Goldman dari Luckas
(dalam Faruk, 2012:92 ) membedakan novel menjadi tiga, yakni ; novel idealisme
abstrak, novel psikologis, dan novel pendidikan. Novel idealisme abstrak
menampilkan tokoh yang masih menyatu dengan dunia, novel ini masih mengutamakan
idealisme. Akan tetapi, karena persepsi tokoh itu tentang dunia bersifat
subjektif, didasarkan pada kesadaran yang sempit, idealismenya menjadi abstrak.
Berdasarkan penjabaran tentang
jenis-jenis novel di atas, penulis menyimpulkan bahwa novel Edensor karya Andrea Hirata dan Menebus Mimpi karya
Abidah El Khalieqy, termasuk dalam novel avountur karena model penceritaannya
tokoh di pusatkan pada suatu keadaan yang mengisahkan tokoh merasakan
kebahagian hingga kesengsaraannya.
- Unsur – Unsur Pembangun dalam Novel
Karya sastra seperti novel memiliki
elemen-elemen pembangun yang menjadikan karya sastra indah, menarik, dan
dikonsumsi oleh penikmat sastra. Elemen pembangun dalam novel ada dua yakni,
unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik novel meliputi: tema, alur,
penokohan, latar, gaya bahasa, konflik, resolusi, point of view, sedangkan unsur
pembangun di luar karya sastra yakni unsur ekstrinsik berupa lingkungan
masyarakat, tokoh itu sendiri,biografi pengarang,budaya, agama, dan sebagainya
a. Unsur Intrinsik
Kaitannya dengan unsur intrinsik dalam
novel tidak dijelaskan secara mendetail tentang tema, alur, setting, gaya
bahasa, dan sebagainya. Akan tetapi penulis hanya menfokuskan pada penokohan
dalam novel yang juga menjadi bagian unsur intrinsic
1.
Tema
Setiap karya fiksi haruslah memiliki
tujuan atau sasaran yang ingin dicapai,karena hal itu berkaitan dengan gagasan,
ide pokok, pikiran pengarang tentang karya sastra yang akan dibangun. “ Tema
tidak harus ditampakan oleh penulis, karena tema bisa bersifat tersurat dan
penikmat akan menentukan tema dari suatu karya sastra” ( Fananie,2002:84).
Pokok pikiran pengarang tentang cerita yang disampaikan bisa berada diawal,
ditengah maupun diakhir paragrap.
Menurut Brooks, dkk ( dalam Tarigan,1994:125
) mengatakan tema adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasan tertentu
mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yan membentuk atau
membangun dasar atau gagasan utama suatu karya sastra. Tema memiliki kaitan
yang erat dengan penokohan, dengan adanya peran tokoh dalam karya sastra, maka
tema cerita dapat diketahui oleh penikmat sastra.
2.
Alur/ Plot
Salah satu element yang sangat penting
dalam menentukan suatu cerita adalah plot cerita. Luxembrux menyebut alur atau
plot adalah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai deretan suatu peristiwa
yang secara logis dan kronologis saling berkaitan dan diakibatkan atau dialami
oleh pelaku ( Luxembrux dalam Fananie,2002:93). Plot tidak hanya dilihat dari
kedudukan satu topik dan topik yang lain, melainkan dirangkaikan dengan
elemen-elemen lain, seperti karakter tokoh, pikiran pengarang yang tercermin
dalam tokoh-tokohnya.
3.
Setting / Latar
Dalam karya sastra, setting merupakan
satu elemen pembentuk cerita yang sangat penting, karena elemen tersebut akan
dapat menentukan situasi umum suatu karya sastra ( Abrham, dalam Fananie, 2002:97
). Dari kajian setting akan diketahui
sejauhmana kesesuaian dan korelasi antara perilaku dan watak tokoh dengan
kondisi masyarakat, situasi sosial, dan pandangan masyarakatnya. Disamping itu,
letak geografis, kondisi wilayah akan menentukan watak-watak tokohnya (
Fananie, 2002:98 )
4.
Gaya bahasa
Dalam sastra, gaya bahasa sangat
dibutuhkan untuk memikat penikmat sastra itu sendiri. Dengan gaya bahasa,
pembaca dapat mengetahui karakter penulis dalam mendeskrifsikan tokohnya.
Stanton ( 61 : 2012 ) mengatakan bahwa, gaya adalah cara pengarang dalam
menggunakan bahasa.
b. Unsur Ekstrinsik dalam Novel
“Unsur ekstrinsik yang berada di luar
karya sastra, secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme
karya sastra. Keberadaan biografi pengarang, masyarakat, sosial, budaya, agama,
dan masyarakat, secara totalitas menjadi elemen yang memperkaya bangun cerita
yang dihasilkan” ( Nurgiyantoro, 2010: 23-24). Unsur ekstrinsik menjadi satu
kesatuan dengan unsur intrinsik karya sastra.
- Penokohan
Sebagian besar dari tokoh dalam karya
sastra merupakan tokoh rekaan yang menjadi imajinasi pengarang. Walaupun
hanya rekaan atau imajinasi pengarang,
masalah penokohan merupakan hal yang penting didalam keberadaan suatu karya
sastra. Tokoh tidak hanya berperan dalam memainkan cerita, akan tetapi berperan
dalam menyampaikan ide, plot, tema, serta amanat yang dikandung dalam karya
sastra ( Fananie, 2002:86 )
Jones ( dalam Nurgiyantoro, 2010: 165 )
mengatakan bahwa, penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang
karakter seseorang yang ditampilkan dalam cerita. Tokoh dalam karya sastra
memiliki peran yang penting didalam menarik simpati pembaca, tokoh harus ada
aksi dan reaksi di dalam memikat hati penikmat sastra itu. Pengarang sebagai pencipta karya sastra harus
memikirkan tokoh sebagai “ Complex of
potentialitas of action “ atau sebagai “ kompleks potensialitas aksi “ (
Brooks dan Warren dalam Tarigan,1994:149 ).
Penokohan atau sering disebut
karakterisasi merupakan sesuatu yang otentik dalam penggambaran tokoh. “ Penokohan
diartikan sebagai karakter sedangkan tokoh, diartikan sebagai orang, pelaku
cerita. Penokohan sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai
sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki oleh tokoh
tersebut”. ( Stanton dalam Nurgiyantoro, 2010:165 )
Nurgiyantoro
(2010:166) membedakan antara tokoh dan perwatakan dengan penokohan. Penokohan
memberikan gambaran tentang totalitas dan perwujudan tentang siapa tokoh dan
perwatakan tersebut. Tokoh, watak, dan segala emosi yang dikandungnya adalah
aspek isi, sedangkan tehnik perwujudannya dalam karya fiksi adalah bentuk.
Jadi penokohan terdapat dua aspek, yakni
aspek isi dan aspek bentuk. Sebenarnya, apa dan siapa tokoh cerita tidak
terlalu penting, selama pembaca dapat mengidentifikasi diri pada tokoh-tokoh
tersebut ( Jones dalam Nurgiyantoro, 2010:166 )
Dari pendapat diatas, penulis dapat
simpulkan bahwa penokohan adalah karateristik atau penggambaran seseorang
dengan jelas dari sebuah cerita dengan pemanfaatan tokoh dalam melakukan aksi
dan reaks dalm isi cerita, sehingga mewakili pengarang dalam menyampaikan
ide-ide , gagasan, dan pikiran pengarang tentang suatu peristiwa atau konflik
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
a. Macam-Macam Penokohan
Bagian ini akan dipaparkan macam-macam
penokohan dalam novel yang dikutip dalam Nurgiyantoro (2010:176-194) antara
lain sebagai berikut :
1. Tokoh Utama
Tokoh utama adalah tokoh yang paling
diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan, tokoh utama paling
dominan diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.
Bahkan dalam novel tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian
dan dapat ditemui dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan.
2. Tokoh Tambahan
Tokoh tambahan merupakan tokoh yang
kehadirannya dalam keseluruhan cerita hanya sedikit, tidak dipentingkan,
bilamana tokoh tambahan muncul hanya dikaitan-kaitan dengan tokoh utama secara
langsung maupun tidak langsung.
3. Tokoh Protagonis
Dilihat dari fungsi penampilan tokoh.
Tokoh protagonsi merupakan tokoh yang dikagumi, yang salah satu jenisnya
disebut hero atau tokoh yang merupakan pengejawatantahan norma-norma,
nilai-nilai ideal bagi kita. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai
dengan pandangan pembaca, permasalahan yang dibawakan seolah-olah mewakili
perasaan pembaca. Demikian juga dengan cara menyikapi permasalahnya,
seolah-olah sesuai dengan masalah yang ada pada diri pembaca.
Di tiap penampilannya, tokoh protagonis menarik
simpati dan empati pembaca, sehingga
penikmat terhipnotis dengan karakter yang ditampilkan dari berbagai peristiwa,
baik dalam menyelesaikan konflik dan atau mengambil keputusan.
4. Tokoh Antagonis
Dilihat dari fungsi penampilan tokoh. Tokoh
antagonis merupakan tokoh jahat yang selalu menimbulkan konflik dalam cerita,
ini biasanya terjadi ketika adanya gesekan-gesekan atau konflik yang terjadi
antara tokoh protagonis yang berseberangan dengan pandangan atau nilai-nilai
yang dibawa oleh masing-masing tokoh tersebut.
5. Tokoh Sederhana
Tokoh sederhana merupakan tokoh yang
dalam bentuk aslinya, adalah tokoh yang memiliki satu kualitas pribadi
tertentu, satu sifat watak tertentu. Biasanya sebagai tokoh manusia, ia tidak
diungkap secara keseluruhan tentang kehidupannya.
6. Tokoh Bulat
Tokoh bulat, tokoh kompleks, berbeda
halnya dengan tokoh sederhana. Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan
diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadiannya, dan jati
dirinya. Tokoh bulat, bisa saja memiliki watak dan tingkah laku bermacam-macam,
bahkan mungkin seperti bertentangan dan sulit diduga.
7. Tokoh Statis
Tokoh statis atau yang disebut dengan static character adalah tokoh cerita
yang esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan
sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh statis memiliki
sikap dan watak yang relatif tetap, tak berkembang sejak awal sampai akhir
cerita.
8. Tokoh Berkembang
Tokoh berkembang atau yang disebut development character adalah tokoh yang
mengalami perkembangan dan perubahan perwatakan sejalan dengan perkembangan dan
perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan. Ia ( tokoh berkembang ) selalu
berinteraksi dengan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lainnya, yang
kesemuannya itu akan mempengaruhi perwatakan, sikap, dan karakter serta tingkah
lakunya.
9. Tokoh Tipikal
Tokoh tipikal atau typical character adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan
keadaan indivualitasnya, dan lebih ditonjolkan kualitas pekerjaannya atau
kebangsaannya. Tokoh tipikal merupakan penggambaran, pencerminan; atau
penunjukan terhadap orang, atau kelompok orang yang terikat dalam sebuah
lembaga, atau seorang individu yang terikat oleh lembaga, yang ada didunia
nyata.
10. Tokoh Netral
Tokoh netral atau neutral character adalah tokoh cerita yang bereksintensi demi
cerita itu sendiri. Ia ( neutral
character ) benar-benar merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan
bereksistensi dalam dunia fiksi.
b. Tehnik Pelukisan Tokoh Dalam Novel
Tokoh-tokoh cerita, tidak begitu saja
secara serta merta hadir kepada pembaca. Mereka ( tokoh ) harus memiliki media
atau sarana yang memungkinkan kehadirannya. Sebagai bagian dari karya fiksi
yang universal atau menyeluruh, padu, serta mempunyai tujuan artistik,
kehadiran dan penghadiran tokoh-tokoh cerita harus juga dipertimbangkan dan tak
lepas dari tujuan tersebut.
Secara garis besar tehnik pelukisan
tokoh dalam suatu karya sastra atau lengkapnya seperti pelukisan watak, sifat,
sikap, tingkah laku, dan berbagai hal
lainya yang berhubungan dengan jati diri tokoh, dapat dibedakan menjadi dua
cara atau tehnik, yaitu tehnik uraian ( telling ) dan tehnik ragaan ( showing )
( Abrams dalam Nurgiyantoro, 2010:194 ) atau tehnik penjelasan ( expository )
dan tehnik dramatik ( dramatic ) ( Altenbernd dan Lewis
dalam Nurgiyantoro, 2010:194 ) berikut ini penjelasannya :
1. Tehnik Ekspositori
Merupakan tehnik pelukisan tokoh cerita
dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung.
Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh pengarang ke hadapan pembaca secara
tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi
dirinya, yang mungkin berupa sikap, sifat, tingkah laku, watak, atau bahkan
juga ciri fisiknya.
Untuk lebih jelasnya pemaparan diatas,
sebagai contoh penulis mengutip cerita Edensor
sebagai berikut
“… langit, kemudi, dan layar, itulah samar
ingatku tentang Weh. Tapi di sekolah lama Mollen Bass technise Shool di Tanjong
Panda, aku pernah melihat fotonya. Tak bohong orang bilang bahwa dia bukan
sembarang, karena Belanda hanya menerima pribumi yang paling cerdas di sekolah calon
petinggi tehnik kapal keruk timah itu. Foto kuno itu sudah buram. Weh seorang
pemuda yang gagah. Ia bergaya, berdiri condong menumpukkan tubuh kekarnya di
atas pemukul kasti… “ ( Hirata, 2008:2 )
2. Tehnik Dramatik
Penampilan tokoh cerita dalam tehnik
dramatik, artinya mirip dengan yang ditampilkan dalam drama, dilakukan dengan
secara tidak langsung. Artinya, pengarang tidak mengekspresikan secara
eksplisit sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan para
tokoh cerita untuk menunjukan
kediriannya sendiri melalui berbagai aktifitas yang dilakukan, baik secara
verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga
melalui peristiwa yang terjadi.
Untuk lebih jelasnya, sebagai contoh
penulis mengambil kutipan dari novel Menebus
Mimpi sebagai berikut :
“
… Murni berusaha menarik tangan Sekar yang masih memeluk istananya hingga
berubah bentuk menjadi gumpalan tanah kembali karena memang masih lembek.
Melihat itu, Sekar tersedu dan menangis keras. Tiba-tiba Pak Gendut sudah
bercak pinggang lagi di belakang Murni. Ia menarik istana itu dengan kuat dan
membantingnya ke lantai semen sampai tak berbentuk apa-apa. Bahkan terpotong-potong. Tangis Sekar kian mengeras
membuat Murni semakin panic dan jengkel. Di sisi lain, rasa haru juga muncul
karena Sekar berusah keras untuk mempertahankan istananya, dan bahkan
mendekapnya lagi walau hanya berwujud gumpalan tanah… “ ( Abidah, 2010:37 )
Dalam wujud penggambaran tokoh
menggunakan tehnik dramatik. Penampilan tokoh dapat dilakukan dengan sejumlah
tehnik. Dalam sebuah karya fiksi, pengarang biasanya mempergunakan berbagai
tehnik itu secara bergantian dan saling mengisi, walau ada frekuensi perbedaan
dalam penggunaannya. Berikut ini akan dipaparkan beberapa tehnik wujud
penggambaran tokoh dalam tehnik dramatik, antara lain :
a. Tehnik Cakap
Dalam tehnik cakap biasanya, pengarang
menggunakan tehnik dialog untuk menggambarkan watak, tingkah laku, sikap,
sifat, serta pola pemikiran dari tokoh yang bersangkutan. Akan tetapi, tidak
semua percakapan menggambarakan tokoh, tetapi sedikit tidak sebagai wujud
penggambaran plot suatu cerita.
Sebagai contoh percakapan, penulis
mengutip dari isi novel Edensor. Percakapan antara Ikal dan Weh
“
… ‘Lemparkan’! hardiknya melihat benda-benda di tanganku. Aku terkejut. Enak
saja, tidak adil. Ayahku membawa kebaikan untuknya dan ia sama sekali tak punya
basa-basi. Dia bisa menakuti siapa saja, bukan aku. Weh meradang, aku
bergeming. “ Keras kepala! Mirip sekali ibumu! “ Ia menibar pokok terunjam,
merapatkan perahunya ke pangkalan. Aku melompat dan berdiri tertegun di
buritan. Sampai aku pulang kami tak berkata-kata…“ ( Hirata, 2008:3 )
b. Tehnik Tingkah Laku
Jika tehnik cakapan dimaksudkan untuk
menunjukan tingkah laku verbal yang berwujud kata-kata para tokoh, tehnik
tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal, fisik. Tindakan
serta sikap yang ditunjukan dengan tingkah laku tokoh, menggambarkan atau
menunjukan reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang menggambarkan sifat-sifat
pelakunya.
Berikut ini sebagai contoh bentuk tehnik
tingkah laku, penulis mengutip contoh dari isi novel Menebus Mimpi sebagai berikut.
“…
bawa pulang sana! Tapi jangan lama-lama, cepat kembali lagi. Banyak pesanan
yang harus diselesaikan. Kamu disini bukan untuk momong anak, tapi kerja, ngerti!
Tak potong gajimu nanti!. Sembari marah dan berkacak pinggang, Pak Gendut,
panggilan sehari-hari pemilik usaha gerabah dari tanah liat itu tampak merah
wajahnya, lalu melenggang pergi dengan langkah kaki perkasa…” ( Abidah, 36 :
2010 )
c. Tehnik Pikiran dan Perasaan
Keadaan dan perasaan tokoh serta pikiran
yang melintas dipikiran dan perasaan, serta sesuatu yang sering dipikir dan
dirasakan oleh tokoh, dalam banyak hal akan mencerminkan sifat-sifat
kediriannya jua. Bahkan, pada hakikatnya tingkah laku dan perasaan serta
pikiranlah yang kemudian diejawantahkan menjadi tingkah laku verbal dan
nonverbal itu.
Sebagai contoh, penulis mengutip cerita
dari novel Edensor sebagai berikut :
“…
Ayah yang pendiam hanya menatapku putus asa. Dalam keadaan ini, biasanya Ayah
menaikku ke tempat duduk belakang sepeda Forevernya, mengikat kakiku ke tuas
bawah sadel dengan saputangannya agar tak terlibas jari-jari ban, lalu
memboncengku ke bendungan PN Timah. Sepanjang jalan Ayah menasehatiku tentang
kedamaian hidup seperti contohkan burung-burung prenjak berdasi, capung-capung,
dan kaum kecebong. Pulangnya aku dibelikan tebu yang ditusuk tangkai-tangkai
lidi. “ ( Hirata, 2008:19 )
d. Tehnik Arus Kesadaran
Tehnik arus kesadaran atau stream of
consciousness merupakan tehnik yang berkaitan dengan tehnik pikiran dan
perasaan. Keduanya tidak dapat dibedakan secara dipilah, atau memang dianggap
sama karena memang sama-sama menggambarkan bathin tokoh.
e. Tehnik Reaksi Tokoh
Tehnik reaksi tokoh dimaksudkan sebagai
reaksi terhadap suatu kejadian, peristiwa, masalah, keadaan, kata, dan sikap
tingkah laku orang lain, sebagainya yang berupa rangsangan dari luar diri tokoh
yang bersangkutan.
f. Tehnik Reaksi Tokoh Lain
Dimaksudkan sebagai reaksi yang
diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama, atau tokoh yang dipelajari
kediriannya, yang berupa pandangan, pendapat, sikap, komentar, dan lain-lain.
g. Tehnik Pelukisan Latar
Suasana latar ( tempat ) sekitar tokoh
juga sering dipakai untuk melukiskan kediriannya. Pelukisan suasana latar dapat
lebih mengintensifkan sifat kediran tokoh seperti tang telah diungkapkan dengan
berbagai tehnik yang lain.
h. Tehnik Pelukisan Fisik
Keadaan fisik seseorang sering berkaitan
dengan keadaan kejiwaannya, atau paling tidak, pengarang sengaja mencari dan
memperhubungkan adanya keterkaitan itu.
3. Cara Mengidentifikasi Tokoh
Tokoh cerita, utama ataupun tambahan,
sebagaimana dikemukan, hadir ke hadapan pembaca tidak sekaligus menampakkan
seluruh kediriannya, melainkan sedikit demi sedikit sejalan dengan kebutuhan
dan perkembagan cerita. Pada awal cerita, pembaca belum mengenal tokoh, namun
sejalan dengan perkembangan cerita pula, pembaca akan menjadu semakin kenal dan
akrab.
Proses pengenalan kedirian tokoh cerita
secara lengkap; biasanya, tidak semudah yang dibayangkan orang. Apalagi tokoh
itu bersifat kompleks, sedang yang sederhana sekalipun juga dibutuhkan ketelitian
dan kekritisan di pihak pembaca. Untuk mengenali secara lebih baik tokoh-tokoh
dalam cerita, ada beberapa prinsip yang harus kita lalui, antara lain :
a. Prinsip Pengulangan
Tokoh cerita yang belum kita kenal, akan
menjadi akrab dan kenal jika kita dapat menemukan dan mengidentifikasi adanya
kesamaan sifat, sikap, watak, dan tingkah laku pada bagian-bagian selanjutnya.
Kesamaan itu bisa saja dilakukan dengan tehnik dialog, tindakan, arus
kesadaran, ataupun yang lain.
Prinsip pengulangan biasanya untuk
menekankan dan atau mengintensifkan sifat yang menonjol sehingga pembaca dapat
memahami dengan jelas. Prinsip pengulangan sangat penting untuk mengembangankan
dan mengungkapkan sifat kedirian tokoh cerita.
b. Prinsip Pengumpulan
Seluruh kedirian tokoh diungkapkan
sedikit demi sedikit dalam seluruh cerita. Usaha pengidentifikasian tokoh,
dengan demikian, dapat dilakukan dengan mengumpulkan data-data yang tercecer
dalam seluruh cerita, sehingga akhirnya diperoleh data yang lengkap.
Pengumpulan data yang berserakan ini, dimaksudkan untuk dikumpulkan menjadi
satu, sehingga saling melengkapi dan menghasilkan gambaran yang padu tentang
kedirian tokoh yang bersangkutan.
c. Prinsip Kemiripan dan Pertentangan
Identifikasi tokoh yang mempergunakan
prinsip kemiripan dan pertentangan dilakukan dengan memperbandingkan antara
seorang tokoh dengan tokoh yang lain dari cerita fiksi bersangkutan. Seorang
tokoh mungkin saja memiliki sifat kedirian yang sama dengan tokoh yang lain,
namun ada saja perbedaan-perbedaan. Adakalanya kedirian seorang tokoh baru
tampak secara jelas setelah berada dalam pertentangannya dengan tokoh yang
lain.
BAB III
METODE PENELITIAN
- Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan
metode deskriftif, menurut Jujun S. Suriasumantri 1985 dalam Sugiyono ( 2010:4
), menjelaskan bahwa penelitian pada dasarnya atau murni adalah penelitian yang
bertujuan menemukan pengetahuan baru yang sebelumnya diketahui. Jenis
penelitian dalam mengkaji komparasi penokohan dalam novel Edensor karya Andrea
Hirata dan Menebus Mimpi karya Abidah El Khalieqy adalah penelitian kepustakaan
yakni kontent analisis, peneliti memaparkan keberadaan persamaan dan perbedaan
tokoh dalam novel Edensor dan Menebus Mimpi dengan teori deskriftif kualitatif.
Penelitian deskriftif kualitatif merupakan penelitian yang tidak disertai
dengan angka-angka statistik melainkan terbatas pada penganalisisan katagori
dan konsep.
- Data dan Sumber Data
1. Jenis Data
Dalam penelitian ini jenis data yang
dikumpulkan yaitu data primer dan data skunder. “ Data primer adalah data
utama, yaitu data yang diseleksi atau yang diperoleh langsung dari sumbernya
tanpa perantara “. ( Siswantoro, 2010:70 ). Data primer dalam penelitian ini
yakni pelukisan penokohan dan kaitannya dengan unsur-unsur pembangun dalam
novel “ Edensor karya Andrea Hirata dan Menebus Mimpi karya Abidah El Khaelieqy
“
“ Data skunder adalah daya yang
diperoleh secara tidak langsung lewat perantara, tetapi bersandar pada katagori
atau parameter yang menjadi rujukan “. ( Siswantoro, 2010:71 ). Data skunder
dalam penelitian ini yakni dokumentasi berupa catatan, transkrip, buku,
majalah, agenda, dan sebagainya.
Jadi data primer dalam penelitian ini
adalah pelukisan penokohan dengan kaitannya dengan unsur – unsur pembangun
dalam novel Edensor karya Andrea Hirata dan Menebus Mimpi karya Abidah El
Khalieqy sedangkan data skunder dalam penelitian ini adalah berupa arsip
perpustakaan, buku, dan makalah ilmiah yang berkaitan dengan masalah dalam
penelitian ini.
2. Bentuk Data
Bentuk data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah berupa kata-kata atau kalimat-kalimat yang berkaitan dengan karakter, sikap, sifat,
dan perilaku tokoh dalam novel Edensor karya Andrea Hirata dan Menebus Mimpi karya
Abidah El Khalaeqy.
3. Sumber Data
Adapun yang menjadi sumber data dalam
penelitan ini adalah novel Edensor karya Andrea Hirata dan menebus mimpi karya
Abidah El Khalieqy dengan identitas sebagai berikut :
a.
Novel Edensor Pengarang Andrea Hirata,
Penerbit PT Bentang Pustaka, Cetakan Ketujuhbelas, Oktber 2008, Tebal xii +
290 hlm; 20,5 cm, Warna sampul hitam kombinasi abu-abu
b.
Novel Menebus Mimpi Pengarang Abidah El
Khalieqy, Penerbit Qalbymedia, Cetakan Keempat, Mei 2010, Tebal xvi +
304 hlm; 13,5 x 20 cm, Warna sampul
Kunig Emas
- Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan yang digunakan dalam
penelitan ini adalah menggunakan 3 metode yaitu :
1.
Studi Pustaka
Dalam penelitian ini tehnik digunakan
untuk mengumpulkan data yaitu mempelajari novel Edensor karya Andrea Hirata dan
Menebus Mimpi karya Abidah El Khalieqy melalui kegiatan membaca berulang-ulang
sampai masalah yang menjadi pokok permasalahan ditemukan.
2.
Observasi
Adalah peninjauan secara cermat,
pengamatan hal. Peneliti mengamati bagian-bagian cerita yang dijadikan sebagai
data penelitian sesuai dengan fokus kajian dan mendukung analisis yang
berkaitan dengan studi komparasi penokohan dalam novel Edensor karya Andrea
Hirata dan Menebus Mimpi karya Abidah El Khalieqy
3.
Pencatatan
Dalam pengumpulan data, peneliti memilah
dan memilih isi bacaan yang mendukung analisis data. Dalam hal ini, peneliti
mencatat bagian-bagian penting yang berkaitan dengan komparasi penokohan yang
terdapat dalam sumber data
- Tehnik Analisi Data
Dalam penelitian ini tehnik analisis
data yang digunakan adalah deskriftif kualitatif, yaitu tehnik yang
menggambarkan dengan kata-kata atau kalimat, dan dipisahkan menurut katagori
untuk memperoleh suatu simpulan.
Dalam menentukan langkah-langkah
analisis data, peneliti menempuh beberapa tahapan. Adapun tahapan tersebut
sebagai berikut.
1.
Mengidentifikasi
Tahapan ini, peneliti mencatat atau
mengutip data-data yang berkaitan dengan fokus kajian dalam novel Edensor karya
Andrea Hirata dan Menebus Mimpi karya Abidah El Khalaeqy.
2.
Klasifikasi
Pada langkah ini peneliti menentukan
data-data yang telah diidentifikasi dengan fokus kajian dan mendukung analisis
yang berkaitan dengan komparasi penokohan dalam novel Edensor karya Andrea
Hirata dan Menebus Mimpi karya Abidah El Khalieqy
3.
Interpretasi
Pada tahapan ini peneliti
menginterpretasi atau menafsirkan data-data yang telah diidentifikasi sesuai
dengan fokus kajian dan mendukung analisis yang berkaitan dengan komparasi
penokohan dalam novel Edensor karya Andrea Hirata dan Menebus Mimpi karya
Abidah El Khalieqy
- Tehnik Penyajian Data
Tehnik penyajian hasil penelitian ini
disajikan dengan tehnik deskriftif kualitatif yaitu data. Data yang diperoleh
disajikan menggunakan kata-kata atau kalimat untuk menambah informasi yang ada.
Adapun langkah-langkah peneliti untuk mendeskrifsikan dengan menjelaskan bentuk
karakter tokoh dan komparasi tokoh dalam novel Edensor karya Andrea Hirata dan
Menebus Mimpi karya Abidah El Khalieqy, sehingga mendapatkan pemahaman secara
menyeluruh.