Kamis, 03 Januari 2013

proposal penelitian bahasa

1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Manusia menurut Sardiman (2011:1) adalah mahluk individu dan mahluk sosial. Dalam hubungan dengan mahluk sosial, terkandung suatu makna tentang manusia bahwa manusia tidak bisa terlepas dari individu yang lainnya. Dengan kata lain manusia akan selalu hidup bersama. Hidup bersama manusia akan berlangsung dalam berbagai bentuk komunikasi dan situasi. Komunikasi dalam berinteraksi dengan orang lain, tentunnya menggunakan media bahasa. Definisi bahasa menurut Kridalaksana (1993:21) adalah sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Sedangkan menurut Appel ( dalam Suwito, 1982:2) memandang bahwa bahasa sebagai sistem sosial dan kebudayaan tertentu, sedangkan yang dimaksud dengan pemakaian bahasa adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam situasi kongkret. Dengan demikian, bahasa tidak hanya dilihat dari internal, tetapi dilihat sebagai sarana interaksi atau komunikasi didalam masyarakat. Di dalam masyarakat, seseorang tidak lagi dipandang sebagai individu yang terpisah, sebagai anggota dari kelompok sosial. Oleh karena itu, bahasa pemakaiannya tidak diamati secara individual, tetapi dihubungkan dengan kegiatannya di dalam masyarakat atau dipandang secara sosial. Dipandang secara sosial, bahasa dan pemakaiannya dipengaruhi oleh factor linguistic dan factor nonlinguistic.
2
Factor linguistic yang memengaruhi bahasa dan pemakaiannya terdiri dari fonologi, morfologi, sintaksis dan semantic. Di samping, factor nonlinguistic yang memengaruhi bahasa dan pemakaiaanya terdiri dari factor sosial, tingkat pendidikan, umur, jenis kelamin, dan lainnya, sedangkan factor situasional yang memengaruhi bahasa dan pemakaiannya terdiri dari yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, di mana, dan masalah apa (Fishman dalam Suwito, 1982:3) Misalnya intrakasi antara pedagang dan pembeli di pasar yang menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi. Tentunya dengan adanya interaksi yang terjadi antara pedagang dan pembeli dengan pemamfaatan bahasa dalam transaksi akan mempermudah mengungkapkan perasaan, pikiran, maksud penutur dan mitra tutur untuk mencapai tujuan masing- masing. Dalam proses komunikasi yang sebenarnya, setiap penutur tidak pernah konsisten pada satu ragam/dialek tertentu saja. Karena setiap penutur pasti mempunyai kelompok social dan hidup dalam tempat dan waktu tertentu. Oleh karena itu, dapat dipastikan setiap penutur memiliki dialek social dan dialek temporal. Contohnya, di pulau Lombok ada empat dialek yang menjadi konsumsi masyarakat sehari-hari. Dialek tersebut antara lain dialek selaprang, dialek pujut, petung bayan dan pejanggik.
Chaer dan Agustina (1995:8 tiga ) membedakan variasi-variasi bahasa, antara lain 1) dari segi penutur, 2) pemakaian, tiga) keformalan dan 4) sarana. Variasi bahasa dalam tindak tutur berkomunikasi tidak terlepas dari pemakaian bahasa itu sendiri dan letak goegrafis serta kebudayaan masyarakat. Bahasa dalam kebudayaan menjadi unsure pertama sebuah kebudayaan, karena bahasa akan menentukan bagaimana masyarakat penggunanya mengkatagorikan pengalamannya. Bahasa akan menentukan konsep dan makna yang
3
dipahami oleh masyarakat, yang pada gilirannya akan memberikan pengertian mengenai pandangan hidup yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain makna budaya yang mendasari kehidupan masyarakat. Begitu halnya dengan masyarakat yang ada di desa labuhan lombok, terdapat banyak variasi bahasa yang digunakan dalam berinteraksi. Ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat adalah pendatang dari luar daerah. Keberagaman bahasa menunjang pemilihan bahasa yang tepat dalam berkomunikasi dengan masyarakat yang berbeda bahasa. Sehubungan dengan hal tesebut, maka peneliti beranggapan bahwa penelitian tentang tendensi pilihan bahasa pedagang ikan di pasar Labuhan Lombok menarik untuk di teliti, karena hal ini terkait dengan penggunaan dan pemilihan bahasa dalam bertransaksi antara pedagang dan pembeli yang berbeda suku antara keduanya. Terkait dengan penelitian di atas, Pasar Labuhan Lombok menurut peneliti menjadi lokasi penelitian yang tepat. Pedagang dan pembeli di pasar Labuhan Lombok memiliki variasi bahasa yang berbeda didalam mengungkapkan maksud, tujuan dan perasaan. Hal ini terlihat dari pedagang dan pembeli berasal dari daerah tertentu yang menggunakan bahasa ibu atau bahasa pertamanya yakni bahasa bugis, sasak, jawa, mandar, jantuk, dalam berkomunikasi sehari-hari di lingkungan keluarga masing- masing Selain itu sepanjang ketidak sepengetahuan peneliti, peneletian tentang Tendensi Pilihan Bahasa Pedagang Ikan di Pasar Labuhan Lombok belum pernah diteliti oleh mahasiswa jurusan pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pengetahuan ( STKIP ) Hamzanwadi Selong
4
Dengan demikian dalam proposal ini mengkaji mengenai “ Tendensi Pilihan Bahasa Pedagang Ikan di Pasar Labuhan Lombok Kecamatan Pringgabaya
1.2 Fokus Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, dirasakan penelitian ini perlu di fokuskan pada suatu masalah yang berkaitan dengan penelitian. Maka penelitian ini di fokuskan pada tendensi pilihan bahasa pedagang ikan di Pasar Labuhan Lombok.
1.3 Rumusan Masalah
Sesuai dengan fokus masalah di atas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah bentuk pemilihan bahasa pedagang ikan dalam kegiatan transaksi di Pasar Labuhan Lombok Kecamatan Pringgabaya?
2. Bagaimana aktivitas antara pedagang ikan dengan pembeli dalam proses transaksi di Pasar Labuhan Lombok?
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mendeskrifsikan bentuk tendensi pilihan bahasa pedagang ikan dalam bertransaksi di pasar Labuhan Lombok
5
2. Untuk mendeskripsikan variasi bahasa yang digunakan dalam proses transaksi di pasar Labuhan Lombok
3. Untuk mendeskripsikan mamfaat pemilihan bahasa dalam proses tindak tutur antara pedagang dan pembeli di pasar Labuhan Lombok
1.5 Mamfaat Penelitian
1. Mamfaat Teoritis
a. Memberi masukan ilmu pengetahuan bagi para peneliti dan calon peneliti dalam hal mengkaji ragam bahasa yang terdapat di lingkungan
b. Pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang linguistik khususnya dalam kajian sosiolinguistik mengenai tendensi bahasa
c. Menambah referensi bagi penelitian dalam bidang kebahasaan dan diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi para peneliti selanjutnya dalam mengembangakan teori sosiolinguistik yang memusatkan pada tendensi pilihan bahasa
2. Mamfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapakan dapat membantu para peneliti untuk lebih kreatif dalam proses mengkaji tendensi pilihan bahasa yang terdapat di masyarakat sekitar serta penelitian dapat dijadikan bahan perbandingan di penelitian selanjutnya
6
b. Bagi Mahasiswa
Penelitian diharapkan dapat memberikan wawasan, pengetahuan, dan meningkatkan kreatifitas para mahasiswa sebagai seorang calon peneliti dibidang kebahasaan untuk lebih mendalami konsep serta pemahaman mengenai tendensi pilihan bahasa
c. Bagi Dosen
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan ajar kajian sosiolinguistik pada mata kuliah sosiolinguistik.
7
BAB II DASAR TEORI 2.1 Konsep Tentang Kajian Sosiolinguistik Para ahli bahasa di bawah ini memberikan beberapa pengertian sosiolinguistik. Dari beberapa pengertian tersebut ternyata terdapat perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Namun perbedaan tersebut tidak terlalu mendasar, artinya dari beberapa pendapat tersebut masih ditemukan persamaan atau substansi pengertian sosiolinguistik Dilihat dari substansinya, kata sosiolinguistik merupakan gabungan dari kata sosiogi dan linguistik. Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia dalam masyarakat dan mengenai lembaga-lembaga serta proses sosial yang ada di masyarakat ( Chaer dan Agustina, 1995:3 ). Linguistik adalah ilmu bahasa atau bidang yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Dengan demikian sosiolinguistik merupakan bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa di dalam masyarakat. Appel ( dalam Suwito, 1982:2 ) mengatakan, sosiolinguistik memandang bahasa sebagai sistem sosial dan sistem komunikasi serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu, sedangkan yang dimaksud pemakaian bahasa adalah bentuk interaksi social yang terjadi dalam situasi kongkret. Dengan demikian sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat secara internal, tetapi dilihat sebagai sarana interaksi/komunikasi di dalam masyarakat.
Sedangkan J. A. Fisman ( 1972: 4 ) memandang sosiolingusitik adalah kajian tentang cirri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur.
8
Factor social yang memengaruhi bahasa dan pemakaiannya terdiri dari factor social, tingkat pendidikan, umur, jenis kelamin, dan lain-lain, sedangkan factor situasional yang memengaruhi bahasa dan pemakaiannya terdiri dari siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, di mana, dan masalah apa ( Fisman dalam Suwito, 1982:3 ) “ Sociolinguistics is a developing subfield of linguistics which takes speech variation as it’s focus, veiwing variation or social context. Sociolinguistic is concerened with the corelation between such social factor and linguistics variation ( Sosiolingustik adalah pengembangan subbidang linguistik yang memfokuskan penelitian pada variasi ujaran, serta mengkajinya dalam suatu konteks sosial. Sosiolinguistik meneliti korelasi antara faktor-faktor sosial itu dengan variasi bahasa ( Nancy Parrot Hickerson 1980:81 ) Dari pendapat di atas, peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa, sosiolinguistik merupakan disiplin ilmu yang mengkaji, menelaah sistem interaksional masyarakat dari segi sosial, bahasa, dan kebudayaan dalam kehidupan masyarakat Ferdinand de Saussure ( 1916 ) membedakan antara yang disebut langage, langue, dan parole. Dalam bahasa Prancis istilah langage digunakan menyebut bahasa sebagai suatu sistem lambang bunyi yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal di antara sesamanya. Langue yakni sebagai sebuah sistem bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Sedangkan parole merupakan pelaksanaan dari langue dalam bentuk ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam berinteraksi atau berkomunikasi sesamanya. Alwasilah ( 1985:68 ) mengatakan, semakin penutur mampu berkomunikasi dalam berbagai ragam bahasa terhadap berbagai pihak dalam berbagai topik ujaran, maka semakin luaslah verbal repertoire penutur tersebut. Verbal repertoire yang dimiliki oleh penutur tediri dari dua macam yaitu repertoire individual dan repertoire kelompok.
9
Penggunaan bahasa sebagai sistem interaksi verbal di antara pemakainya di dalam masyarakat disebut sosiolingustik interaksional, sedangkan kajian mengenai penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan adanya ciri-ciri linguistik di dalam masyarakat pemakainya disebut sosiolinguistik korelasional. ( Appel dalam Chaer dan Agustina, 1995: 46 ). Antara sosilinguistik interaksional dan sosiolinguistik korelasional memiliki hubungan yang sangat erat yang saling bergantung satu sama lainnya. Hal ini disebabkan oleh masyarakat sebagai anggotanya, sedangkan kemampuan suatu masyarakat tutur terjadi dari himpunan kemampuan seluruh penutur dalam masyarakat Fishman ( dalam Alwasilah, 1985:42 ), suatu masyarakat ujaran adalah satu masyarakat yang semua anggotanya memiliki bersama paling tidak satu ragam ujaran dan norma-norma untuk pemakaiannya yang cocok. Berdasarkan verbal repertoire dimiliki oleh masyarakat bahasa, masyarakat bahasa itu dikelompokan menjadi tiga yakni, 1) masyarakat monolingual, 2) masyarakat bilingual, dan masyarakat multilingual Masyarakat monolingual maksudnya suatu masyarakat tertentu yang hanya menguasai satu bahasa tertentu dalam berkomunikasi dan berinterkasi dengan angota masyarakat tertentu, bilingual maksud pentur masyarakat tertentu yang menggunakan variasi bahasa ( bahasa daerah dan bahasa indonesia ) dalam berkomunikasi dan berinterkasi dengan anggota masyarakat. Sedangkan multilingual maksudnya penggunaan ragam bahasa tertentu dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan anggota masyarakat tertentu.
Kaitannya dengan peristiwa tutur, Dell Hymes ( 1972 ), seorang pakar sosiolinguistik terkenal, bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi kedelapan komponen, yang bila huruf-
10
huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu adalah sebagai berikut S ( = Setting and Scene ) P ( = Participants ) E ( = Ends : purpose and goal ) A ( = Act seqeuences ) K (= Key ; Tone or Spirit of Act ) I ( = Instrumentalitie ) N ( = Norms of Interaction and Interpreation ) G ( = Genres ) Berikut ini dijabarkan kedelapan komponen sebagai berikut. Setting and scene, setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau situasi psikologi pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan bahasa yang berbeda Participant adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicaraan dan pendengar, penyapa, dan pesapa, atau pengirim penerima ( pesan ). Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Acts sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaanya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan.
11
Keys, mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan disampaikan; dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, sombong, mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukan dengan gerak tubuh dan isyarat. Instrumental, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan dan tertulis, melalui telegraf atau telephone. Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yan digunakan, seperti bahasa, dialek, fragam, atau register. Norm of interaction and interpration, mengacu pada norma dan aturan berintraksi. sedangkana Genre mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa, dan sebagainya. 2.2 Konsep Tentang Tindak Tutur Tindak atau tindak ujar ( speech act ) merupakan suatu tindakan yang dimiliki oleh pengungkapan kata-kata atau kalimat yang didukung oleh ekspresi tertentu. Dalam tindak tutur pentur bermaksud memberikan peluang bagi mitra tutur untuk menafsirkan fungsi perkataanya. Dan dalam tindak tutur satu bentuk ujaran dapat mempunyai lebih dari satu fungsi dan dalam komunikasi yang sebenarnya satu fungsi ujaran dapat dinyatakan, atau diutarakan dalam berbagai bentuk ujaran. Menurut Nadar ( 2009: 11 ) teori tindak tutur berawal dari ceramah yang disampaikan oleh filsif berkebangsaan inggris, Jhon L. Austun, pada tahun 1955 di Universitas Harvard, yang kemudian diterbitkan pada tahun 1962 dengan judul “ How to do things with words “.
Tindak tutur juga merupakan pengkajian yang di bahas dalam sosiolingiustik. Mengujarkan sebuah tuturan tertentu dapat dipandang sebagai melakukan tindakan ( mempengaruhi , menyuruh ), di samping memang mengucapkan atau mengujarkan tuturan itu. Kegiatan melakukan tindakan mengujarkan tuturan itulah yang merupakan tindak tutur. Dengan
12
kata lain, tindak tutur merupakan rangkaian dari percakapan yang terjadi dalam peristiwa tutur. Tuturan yang digunakan sebagai tindakan dalam berkomunikasi tidak terlepas dari pesan yang ingin disampaikan oleh penutur kepada mitratutur atau pendengar. Dalam tindak tutur sangat diperhitungkan sejauhmana suatu tuturan itu dapat mengekspresikan sikap penutur sehingga mitratutur mampu menangkap pesan yang tersirat di dalamnya Chaer dan Agustina ( 2010: 50 ) memberikan pengertian tindak tutur sebagai suatu gejala individual, bersifat psikologi, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Artinya tindak tuturan merupakan suatu proses komunikasi yang menyampaikan tindakan-tindakan melalui tuturan yang memiliki makna sesuai dengan konteks pada saat tuturan itu berlangsung, yang apabila kita lihat dari segi indivualnya, yaitu dengan siapa si penutur keberlangsungannya yaitu bagaimana si mitratutur bisa menanggapi tuturan yang disampaikan oleh penutur atau mitratuturnya. Menurut Cunningsworth dalam Tarigan (2009: 38 ), teori tindak tutur memusatkan perhatian pada cara penggunaan bahasa mengkonsumsikan maksud dan tujuan sang pembicara dan juga dengan maksud penggunaan bahasa yang dilaksanakannya.
1. Komponen Tindak Tutur
Austin dalam yule ( 2006: 83-85) membedakan tiga jenis tindak yang saling berhubungan yang berkaitan dengan tutur, yaitu tindak lokusi, ilokusi, dan perlokusi
a. Tindak lokusi merupakan tindak dasar atau menghasilkan suatu ungkapan yang bermakna dengan kata lain tindakan mengucapkan kalimat sesuai dengan makna kata atau makna kalimat. Misal, ada anak kecil berkata “ saya lapar “ artinya orangitu mengatakan dia lapar.
13
b. Tindak ilokusi merupakan tindak melakukan sesuatu. Artinya, tindak ilokusi ini berbicara maksud, fungsi, dan daya tutur yang dimaksud. Jadi, ketika kalimat “saya lapar “ dapat memiliki makna dia lapar dan minta makan.
c. Tindak perlokusi merupakan tindak yang menimbulkan pengaruh terhadap mitratutur. Misalnya ada kalimat “saya lapar” maka tindakan yang muncul adalah mitratutur bangkit dan mengambilkan makanan
2. Jenis Tindak Tutur
Parker dalam Nadar (2009: 17-18 ) menyebutkan delapan jenis tindak tutur, yaitu 1) tindak tutur langsung, 2) tindak tutur tidak langsung, 3) tindak tutur literal, 4) tindak tutur tidak literal, 5) tindak tutur langsung literal, 6) tindak tutur tidak langsung literal, 7) tindak tutur tidak langsung literal, 8) tindak tutur tidak langsung tidak literal
a. Tindak Tutur Langsung
Tindak tutur langsung menurut Nadar ( 2009:18) adalah tuturan yang sesuai dengan modus kalimatnya, misalnya kalimat berita untuk memberitakan, kalimat perintah untuk menyuruh, mengajak, ataupun memohon, dan kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu. Parker dalan Nadar ( 2009: 17 ) memberi contoh tuturan “ Ambilkan jaket saya “ menunjukan suatu tindakan ilokusioner, yaitu meminta, sehingga dapat dikatakan bahwa tuturan Ambilkan jaket saya merupakan tindak tutur langsung
b. Tindak Tutur Tidak Langsung
14
Tindak tutur tidak langsung menurut Nadar ( 2009:18 ) adalah tuturan yang berbeda dengan modus kalimatnya, maka maksud dari tindak tuturan tidak langsung dapat beragam dan tergantung pada konteksnya. Parker dalam Nadar ( 2009 :18 ) memberikan contoh “ Dapatkan anda diam mengambil jaket saya “, tuturan ini merupakan tuturan tidak ilokusioner bertanya, namun secara tidak langsung tuturan ini juga merupakan tindak ilokusioner meminta sehingga secara tidak langsung tuturan ini merupakan tindak tutur tidak langsung.
c. Tindak Tutur Literal
Wijana dalam Nadar ( 2009:19 ) dimaksudkan bahwa tindak tutur literal adalah tindak tutur yang dinaksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Misalnya tindak tutur berikut
1. Bagus benar tulisanmu.
2. Radionnya keraskan ! Aku ingin mencatat lagunya
Bila tindak tutur ( 1 ) dimaksudkan memuji atau mengagumi kemerduan seseorang yang dikagumi, merupakan tindak tutur literal, dan tindak tutur (2) demikian pula dengan penutur benar-benar menginginkan lawan tutur untuk mengeraskan volume radio untuk dapat secara lebih mudah untuk mencatat lagu yang diperdengarkan, maka tindak tutur-tindak tutur itu merupakan jenis tindak tutur yang dimaksudnya bersesuaian dengan muatan leksikal kata-kata menyusunnya
d. Tindak Tutur Tidak Literal
15
Wijana dalam Nadar ( 2009 : 19 ) mejelaskan bahwa tindak tutur tidak literal adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang menyusunnya. Misalnya tindak tutur berikut:
1) Tulisanmu bagus sekali, ( tapi kok kayak cakar ayam )
2) Kamu kurang atas. Atasan sedikit. Biar buah habis
Tindak tutur (1) menyarankan agar tidak untuk menulis, karena penutur memaksudkan bahwa lawan tuturnya tidak bagus mengatakan jangan kamu nulis, merupakan tindak tutur tidak literal. (2) karena sebenarnya penutur menginginkan sebenarnya seorang itu untuk turun, tindak tutur (2) adalah tindak tutur tidak literal, merupakan tindak tutur yang maksudnya tidak sama ( berlawanan ) dengan muatan makna leksikal kata-kata menyusunnya.
e. Tindak Tutur Langsung Tidak Literal
Tindak tutur langsung tidak literal menutur wijana dalam Nadar ( 2009:20) adalah tindak tutur yang diutaraka dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutarannya; maksud memerintahkan dengan kalimat berita, menanyakan sesuatu dengan kalimat tanya.
Tindak tutur ini dapat dijumpai misalnya dalam tuturan seorang dokter “ Coba, buka mulutnya lebar-lebar. saya akan melihat tenggorakannya “. Dokter ini sedang memeriksa kesehatan seorang anak yang terkena radang tenggorakan. Tuturan dokter tersebut dapat diklasifikasikan sebagai tuturan dan literal karena dokter tersebut menggunakan modus kalimat perintah untuk menyuruh dan dokter tersebut betul-betu
16
ingin agar sang anak membuka mulutnya lebar-lebar agar tenggorokannya dapat diperiksa
f. Tindak Tutur Langsung Tidak Literal
Tindak tutur langsung tidak literal menurut Wijana dalam Nadar ( 2009: 20) adalah tindak tutur yang; (1) diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan maksud tuturan, (2) kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Maksudnya memerintah ungkapan dengan kalimat perintah, dan maksud menginformasikan dengan kalimat berita seperti tindak tutur tersebut.
1) Suaramu bagus, kok.
2) Kalau mau makan biar kelihatan sopan, buka saja mulutmu
Jika tindak tutur (1) dimaksudkan untuk mengatakan bahwa suara lawan tuturnya tidak bagus dengan modus deklaratif ( tindak tutur langsung ) dan tindak tutur (2) dimaksudkan untuk memerintahkan anak atau adik penutur agar menutup mulut ( tindak tutur langsung ) yang diutarakan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan atau tidak bersesuaian seperti bagus (1) dan membuka mulut (2) diklasifikasikan menjadi tindak tutur langsung tidak literal.
g. Tindak Tutur Tidak Langsung Literal
Tindak tutur tidak langsung dan literal menurut Wijana dalam Nadar (2009:21) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang sama dengan maksud penuturnya.
17
Misalnya suatu keluarga yang terdiri suami, istri dan anak-anak sedang makan malam bersama. Sang suami yang suka rasa pedas menginginkan sambal yang terletak agak jauh darinya, dan kemudian dia berkata pada istrinya “ Bu, boleh minta sambalnya “ Tuturan suami kepada istrinya ini dapat diklasifikasikan sebagai tuturan literal karena memang yang bersangkutan minta sambal. Namun tuturan ini merupakan tuturan tidak langsung karena yang bersangkutan menggunakan kalimat tanya untuk membuat suatu tindak ilokusi tindak langsung yaitu menyuruh istrinya untuk mengambil sambal
h. Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal
Tindak tutur tidak langsung tidak literal menurut Wijana dalam Nadar ( 2009:21 ) adalah tindak tutur yang tidak bersesuaian dengan modus dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan seperti tindak tutur berikut.
1) Bersih sekali bajumu
2) Jalanmu terlalu lambat, pantas terlambat
Dari contoh kalimat di atas menggunakan jenis tindak tutur tidak langsung tidak literal. Tindak tutur (1) dan (2) memiliki makna memerintah mengganti baju dan makna perintah mempercepat jalan, hal ini diutarakan dengan modus deklaratif 2.2 Tendensi Plihan Bahasa
Bahasa menurut KBBI, (2010:89 ) bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang dipakai oleh suatu masyarakat untuk berinteraksi;percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, dan sopan santun. Para ahli antrpologi mengutarakan definisi bahasa sebagai sandi
18
konseptual sistem pengetahuan, yang memberikan kesanggupan kepada penutur-penuturnya guna menghasilkan dan memahami ujaran. Definisi bahasa juga diutarakan oleh Kridalaksana (1993:21) adalah sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Sedangkan menurut Appel ( dalam Suwito, 1982:2) memandang bahwa bahasa sebagai sistem sosial dan kebudayaan tertentu, sedangkan yang dimaksud dengan pemakaian bahasa adalah bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam situasi kongkret. Dengan demikian, bahasa tidak hanya dilihat dari internal, tetapi dilihat sebagai sarana interaksi atau komunikasi didalam masyarakat. Dalam KBBI ( 2010: 612 ) menyebut pilihan adalah hasil dari memilih; yang terbaik; jalan, upaya yang dapat dilakukan, sedangkan definisi tendensi menurut KBBI, ( 2010: 749 ) menyebut bahwa tendensi adalah kecendrungan, berkecendongan. Jadi tendensi bahasa adalah kecendrungan atau berkecondongan individu ( penutur ) dalam suatu masyarakat memilih, menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dan berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. 2.2.1 Fungsi Bahasa
a. Dilihat dari Sudut Penutur,
Maka bahasa berfungsi personal atau pribadi atau disebut fungsi emotif Maksudnya, si penutur menyampaikan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Penutur tidak hanya mengungkapan emosi lewat bahas, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya ( Haliday 1973, Finnocchiaro 1974; Jakobson 1960 )
19
b. Dilihat dari Segi Pendengar atau Lawan Bicara
Bahasa bersifat direktif, yaitu mengatur tingkah laku pendengar maksudnya bahasa tidak hanya membuat si pendengar melakukan, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang dimaui si pembicara.
c. Dilihat dari Segi Kontak Antara Penutur dan Pendengar
Bahasa berfungsi fatik yaitu fungsi menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat, atau solidaritas sosial.
d. Lihat Dari Topik Ujaran
Bahasa berfungsi referensial yaitu, bahasa sebagai alat untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada disekililing penutur atau yang ada dalam budaya pada umumnya.
e. Lihat dari Segi Kode Yang Digunakan
Bahasa berfungsi metalingual atau metalinguistik yakni, bahasa itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri
f. Dilihat dari amanat ( message )
Bahasa berfungsi imajinatif, sesungguhnya bahasa itu dapat digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan; baik yang sebenarnya maupun yang hanya imajinasi saja.
20
Sehubungan dengan penjelasan mengenai tendensi pilihan bahasa serta fungsi bahasa di atas. Peneliti hanya meneliti atau mengkaji tendensi pilihan bahasa pedagang ikan di pasar Labuhan Lombok 2.3 Kelompok Pedagang Ikan di Pasar Labuhan Lombok
21
3. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data 3.1.1 Jenis Data Jenis penelitian ini bersifat deskriptif yaitu mendeskripsikan bentuk dan fungsi pemakaian tingkat tutur bahasa Sasak pada masyarakat Tanak Awu Kecamatan Pujut. 3.1.2 Sumber Data Data dalam penelitian ini adalah data kebahasaan yang bersumber dari informan, yang diambil dari penutur asli bahasa Sasak yang berada di Desa Tanak Awu Kecamatan Pujut. Data-data yang disaring dan dianalisis diambil dari informan yang dianggap refresentatif dan akurat. 3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi Populasi adalah subjek penelitian (Arikunto, 2006:130). Dalam hubungannya dengan penelitian ini, yang menjadi populasinya adalah seluruh masyarakat desa Tanak Awu Kecamatan Pujut. 3.2.2 Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti (Arikunto, 2006:131). Sampel dalam penelitian ini adalah wakil-wakil dari populasi tadi yaitu wakil dari masyarakat tanak awu yang merupakan penutur asli bahasa sasak. Dalam penentuan sampel ini, teknik yang digunakan adalah random sampling yaitu pengambilan informan secara acak di sekitar tempat
22
tinggal penulis. Pengambilan informan secara acak dianggap cukup karena pada dasarnya mereka adalah orang-orang yang biasa berbahasa seperti itu. 3.3 Metode dan Teknik Penyediaan Data Kegiatan ilmiah yang disebut penelitian dalam semua disiplin ilmu pada dasarnya dibagi dalam tiga tahap (a) tahap penyediaan data, (b) tahap analisis data, dan (c) tahap penyajian hasil analisis data, setiap tahapan tersebut memiliki metode dan teknik tersendiri, yang berbeda satu sama lainnya (Mahsun, 2007:127) Dalam penelitian ini ada dua cara yang digunakan untuk menyediakan data dan informasi. Cara-cara tersebut adalah dengan metode simak dan metode cakap, dari kedua metode ini akan dipaparkan sebagai berikut. 3.3.1 Metode dan Teknik Simak
Pada penelitian ini digunakan metode dan teknik simak karena cara yang ditempuh untuk memperoleh data selain dengan wawancara adalah dengan menyimak penggunaan bahasa. Disebut metode simak karena cara yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa (Mahsun, 2007:92). Dalam ilmu sosial, metode ini disejajarkan dengan metode pengamatan atau observasi (Moelong, 2001 dan Gunarwan, 2002 dalam Mahsun, 2007:242-243). Selanjutnya dijelaskan tentang teknik dasar yang dilakukan dalam metode ini yaitu teknik sadap yaitu dilakukan dengan menyadap pemakaian bahasa dari informan. Teknik sadap ini merupakan teknik dasar yang memiliki teknik lanjutan, yaitu teknik simak bebas libat cakap dan teknik simak libat cakap dan catat. Dengan memakai metode ini penulis berharap
23
dapat memperoleh data-data bahasa yang pada umunya sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. 3.3.2 Metode dan Teknik Cakap (Wawancara) Penamaan metode penyediaan data dengan metode cakap disebabkan cara yang ditempuh dalam pengumpulan data itu adalah berupa percakapan antara peneliti dengan informan (Mahsun, 2007:95) Dalam penelitian ilmu sosial, metode cakap ini dikenal dengan nama metode wawancara atau interview. Metode ini digunakan pada tahap penyedian data yang dilakukan dengan cara peneliti melakukan percakapan atau kontak dengan penutur selaku narasumber (masih dalam Mahsun, 2007:250). Adapun teknik yang digunakan dalam metode ini adalah menggunakan teknik pancing dan teknik cakap semuka dengan tujuan untuk memunculkan data kebahasaan berupa kosakata atau kalimat yang menjurus kepada tingkat tutur bahasa Sasak yang dipakai oleh penuturnya. Pelaksanaan teknik pancing tersebut merupakan stimulasi (pancingan) pada informan untuk memunculkan data kebahasaan yang diharapkan oleh peneliti. Teknik ini kemudian dilanjutkan dengan teknik cakap semuka dengan melakukan percakapan antara peneliti dengan informan yang bersumber pada pancingan yang sudah disiapkan atau secara spontanitas memunculkan pertanyaan di tengah-tengah percakapan. Teknik cakap ini dilakukan dengan berhadapan langsung dengan informan dalam bentuk wawancara dengan memberikan beberapa pertanyaan kepada informan. 3.4 Metode danTeknik Analisis data
24
Analisis data merupakan upaya yang dilakukan untuk mengklasifikasikan atau mengelompokkan data. Pada tahap ini dilakukan upaya mengelompokkan, menyamakan data yang sama dan membedakan data yang memang berbeda, serta menyisihkan pada kelompok lain data yang serupa, tetapi tidak sama. Dengan kata lain pada tahap ini dilakukan pemilahan atau memilah data yang diperlukan atau tidak. Data itu sendiri (menurut Anshen dalam Mahsun, 2007:254) memiliki dua wujud, yaitu data yang berwujud angka (kuantitatif) dan data yang berwujud bukan angka (kualitatif). Dilihat dari dua wujud data tadi, penelitian ini merupakan penelitian bidang kebahasaan yang bersifat deskriptif, maka wujud atau jenis data yang digunakan adalah data kualitatif bukan kuantitatif. Karena penelitian ini berkaitan dengan data kualitatif, maka data yang sudah terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif yaitu data yang dianalisis dalam bentuk kata-kata bukan angka (Mahsun, 2007:257). Terdapat enam metode yang digunakan dalam analisis kualitatif, khususnya dalam bidang ilmu sosial, yaitu metode analisis isi, metode analisis domein, metode analisis taksonomis, metode analisis komponensial, metode analisis tema kultural, dan metode analisis komparatif konstan. Untuk keperluan analisis ini akan difokuskan pada metode komparatif konstan yang biasa disebut metode padan. Metode padan yang tepat digunakan berkaitan dengan permasalahan yang dikaji adalah metode padan intralingual yaitu metode analisis dengan cara menghubung-bandingkan unsur-unsur yang bersifat lingual, baik yang terdapat dalam satu bahasa maupun dalam beberapa bahasa yang berbeda (Mahsun, 2007:118). 3.5 Metode dan Teknik Penyajian Data
25
Hasil analisis data akan disajikan dengan menggunakan metode formal dan informal, karena pada prinsipnya, penyajian hasil analisis baik itu untuk tujuan kajian slinguistik sinkronik, linguistik diakronik, maupun sosiolinguistik adalah sama (Mahsun, 2007:279). Penggunaan metode formal dan informal ini pada penyajian hasil analisis data berdasarkan perumusan dengan menggunakan kata-kata atau kalimat dan penggunaan lambang-lambang (simbol). Ihwal penggunaan kata-kata dan tanda (lambang) merupakan teknik hasil penjabaran dari masing-masing metode penyajian tersebut