PEMIMPINKU,
PENJARA PRIBADIKU
Kepemimpinan
dalam konsep yang tidak asing lagi dalam buku serta referensi yang mudah kita
dapatkan di toko buku, memiliki banyak definisi yang diungkapkan oleh beberapa
ilmuwan. Kepemimipinan yakni proses membentuk kepribadian atau karakter. Dalam ilmu
tata bahasa kepemimpinan memiliki kata dasar ( root word ) berasal
dari kata pimpin yang memuat dua hal pokok yaitu: pemimpin sebagai subjek, dan yang
dipimpin sebagai objek. Kata pimpin
mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun dan
juga menunjukkan ataupun mempengaruhi.
Pemimpin
mempunyai tanggungjawab
baik secara fisik
maupun spiritual terhadap
keberhasilan aktivitas
kerja dari yang dipimpin, sehingga
menjadi
pemimpin itu tidak mudah dan tidak akan setiap orang mempunyai kesamaan dalam menjalankan
kepemimpinannya. Mengutip definisi dari H.
Gerth &C.W. Mills “Character and Social Structure” Kepemimpinan dalam
arti luas adalah suatu hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin dalam mana
pemimpin lebih banyak mempengaruhi dari pada dipengaruhi; disebabkan karena
pemimpin menghendaki yang dipimpin berbuat seperti dia dan tidak berbuat lain
yang dimaui sendiri. Pendapat yang disampaikan diatas memiliki banyak realitas
dalam kehidupan kita sehari-hari baik di dalam dunia politik, organisai,
instansi pemerintahan maupun dalam lingkup pendidikan.
Pemimpin
dewasa ini, hanya berdiri pada kekuasaannya untuk memerintahkan saja tanpa
melihat kondisi riil di lapangan dan tanpa mempertimbangkan apa yang sudah
dikerjakan karyawannya. Kecendruangan pemimpin bersikap otoriter atau memiliki
egoisitas untuk selalu di dengar dan tidak mau mendengar. Sekarang yang menjadi
pertanyaan, apakah kita termasuk pemimpin dari ketiga tipe kepemimpinan yakni
pemimpin yang dominan demokrtis, otokratis atau Dis Paire ?. Sehingga mitos beberapa
abad yang lalu bermunculan dan menjadi boomerang bagi bawahan yang mengharapkan
sesuap nasi dari pekerjaanya, namun nyatanya tidak menghasilkan apa-apa.
Mitos pemimpin adalah pandangan-pandangan
atau keyakinan-keyakinan
masyarakat yang dilekatkan kepada gambaran seorang
pemimpin. Mitos ini disadari atau tidak mempengaruhi pengembangan pemimpin dalam
organisasi. Ada
3 (tiga) mitos
yang berkembang
dimasyarakat,yaitu
mitos theBirthright, the
For All - Seasons , dan the Intensity. Mitos the Birthright berpandangan bahwa
pemimpin itu dilahirkan bukan dihasilkan (dididik). Mitos ini berbahaya bagi
perkembangan regenerasi pemimpin karena yang dipandang pantas menjadi pemimpin adalah orang yang memang dari sananya dilahirkan
sebagai pemimpin, sehingga yang bukan dilahirkan sebagai pemimpin tidak memiliki
kesempatan menjadi pemimpin.
Mitos the For All - Seasons berpandangan bahwa sekali orang itu menjadi pemimpin
selamanya dia
akan menjadi
pemimpin yang berhasil.
Pada kenyataannya keberhasilan seorang
pemimpin pada satu situasi dan kondisi tertentu belum
tentu sama dengan situasi dan kondisi lainnya. Mitos the Intensity
berpandangan bahwa seorang pemimpin harus bisa bersikap tegas dan galak karena
pekerja itu pada dasarnya baru akan bekerja jika didorong dengan
cara yang keras.
Pada kenyataannya
kekerasan mempengaruhi
peningkatan
produktivitas kerja hanya pada awal-awalnya saja, sehingga produktivitas dalam jangka waktu yang
panjang tidak bisa kita harapkan. Oleh karena itu sangat
miris sekali, jika kita melihat kondisi para pejabat atau pemangku kekuasaan
yang menginginkan hasil secara instant tanpa mempertimbangkan dampak yang akan
timbul kedepan. Hal Ini biasanya disebabkan oleh beberapa factor antara lain :
a.
Pemimpin yang mengedepankan kepentingan
sendiri ( Ego ) tanpa mempertimbangkan atau memikirkan kebijakan yang
mengorbankan kepentingan orang banyak
b.
Desakan kebutuhan pribadi atau golongan
yang hanya memihak dirinya atau golongan saja
c.
Keyakinan
yang dimiliki untuk mengubah semua orang untuk mengikuti kemauannya secara
instant/praktis/pragmatis
Dari
ketiga factor yang diungkapkan penulis diatas, merupakan cirri-ciri pemimpin
yang otokratis, yakni hanya mendengarkan dirinya tanpa mendengarkan bawahannya
atau lingkungan sekitarnya. Ciri- ciri pemimpin diatas adalah keras kepala,
egois, berpikir instant, senang dengan pujian serta tidak senang dibantah. Hal
inilah yang harus kita hindarkan, jika kita menginginkan output dari pekerjaan
sehingga memuaskan serta dipandang lebih produktif. Dibandingkan produktifitas
yang hanya spontanitas dan tidak ada nilai jualnya. Dari pemaparan yang
disampaikan penulis, tentunya pemimpin yang bersifat otokratis akan
memanjarakan pribadi seseorang ( pegawai/ karyawan ).
Sehingga pekerjaan yang dilakukan cendrung
tidak berasal hati nurani mereka, melainkan hanya sebagai wujud melepas
tanggungjawab saja atau bisa saja karyawan bekerja jika pemimpinnya ada di
tempat. Agar senantiasa menjaga kesinambungan antara pemimpin dan dipimpin atau
dengan kata lain, antara atasan dengan bawahan, harus sama-sama mengedepankan
serta melihat kebutuhan,kesejahtran orang banyak. Semoga tulisan ini, menjadi
masukan bagi para pejabat, agar tidak menerapkan karakter kepemimpinan yang
otoriter, sehingga bawahan menjadi senang bekerja, tidak bekerja asal-asalan
atau tidak hanya menggugurkan kewajibannya. Ciptakan kepemimpinan yang
demokratis sehingga menghasilkan kualitas dan harga jual tinggi